Di banyak perguruan tinggi, terutama yang sedang mengejar akreditasi unggul, ada satu fenomena menarik: semangat menyusun dokumen akreditasi bisa melebihi semangat menyusun kurikulum. Saking semangatnya, kadang muncul pertanyaan satir: apakah kita sedang membuat dokumen hidup, atau justru kita yang hidup di dalam dokumen?
SPMI, atau Sistem Penjaminan Mutu Internal, seringkali menjadi “kata kunci” yang muncul menjelang visitasi. Ia tiba-tiba jadi topik rapat, bahan pelatihan kilat, bahkan kadang menjadi alasan lembur berjamaah. Padahal, kalau mengacu pada regulasi, SPMI itu bukan alat sulap menjelang akreditasi, tapi sistem berkelanjutan yang seharusnya hidup sepanjang tahun—bukan hanya sepanjang audit.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang pendidikan tinggi dengan tegas menyebut bahwa perguruan tinggi wajib membangun SPMI. Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 tentang penjaminan mutu pendidikan tinggi menyebut standar yang ditetapkan perguruan tinggi harus merupakan penjabaran SN Dikti, dan BAN-PT bahkan menyatakan bahwa keberadaan fungsi SPMI di institusi dan fakultas adalah bagian dari standar budaya mutu.
Sayangnya, budaya mutu ini sering kita terjemahkan sebagai budaya membuat dokumen. Kebijakan? Ada. Pedoman PPEPP? Lengkap. Standar mutu? Banyak. Bukti pelaksanaan? Ya… nanti menyusul.
Inilah tantangan pengelola pendidikan tinggi: membangun budaya mutu yang tidak hanya tertulis, tapi juga terlaksana. Karena sesungguhnya, perangkat SPMI bukan untuk memperindah rak arsip, tapi untuk memperbaiki cara kerja kita sebagai institusi pendidikan.
Kalau mengacu pada pedoman Kemendikbudristek 2024, ada empat perangkat penting dalam SPMI:
-
Kebijakan Mutu
-
Pedoman PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, Peningkatan)
-
Standar / Kriteria Mutu
-
Tata Cara Pendokumentasian
Keempatnya ini ibarat empat kaki meja. Kalau satu saja tidak stabil, jangan salahkan kalau “meja mutu” kita oleng.
Lebih lanjut, lembaga akreditasi seperti LAMDIK dan LAMEMBA bahkan menjadikan pelaksanaan SPMI sebagai salah satu dari sedikit syarat untuk mendapat peringkat “Unggul”. Artinya, tidak ada jalan pintas. Kalau SPMI tidak hidup, maka mimpi akreditasi unggul pun tinggal mimpi.
Yang sering luput adalah kesadaran bahwa SPMI bukan urusan biro mutakhir, tapi bagian dari pekerjaan kita sehari-hari sebagai sivitas akademik. Menyusun RPS, melakukan evaluasi pembelajaran, memperbaiki kurikulum, menyusun laporan kinerja—semua itu bagian dari siklus PPEPP.
Sekarang mari kita renungkan ini dalam kerangka Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2025. Di saat bangsa merayakan semangat Ki Hajar Dewantara—Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani—kita justru terjebak dalam dilema: apakah kita sedang membangun budaya mutu, atau sekadar sibuk memelihara citra mutu?
Banyak perguruan tinggi begitu antusias menyiapkan dokumen mutu, lengkap dengan lampiran yang membuat asesor terharu. Tapi pertanyaan mendasarnya: apakah dosen, mahasiswa, tenaga kependidikan, bahkan pimpinan perguruan tinggi, benar-benar hidup dalam semangat mutu itu? Atau, jangan-jangan, mutu hanya hidup dalam dokumen, sementara realitas akademik berjalan di jalur yang berbeda?
Maka pertanyaannya tetap relevan: SPMI—dokumen hidup atau hidup di dokumen?
Kalau jawabannya adalah dokumen hidup, maka kita semua—dosen, pimpinan, tenaga kependidikan, mahasiswa—harus menjadi bagian dari sistem yang belajar dan tumbuh. Tapi jika jawabannya hidup di dokumen, maka setiap Hari Pendidikan hanya akan jadi perayaan seremonial, bukan refleksi esensial.
Saatnya kita balik cara pandang. Jangan jadikan SPMI beban menjelang visitasi. Jadikan ia sebagai cara kerja kita sehari-hari. Karena mutu itu tidak dibangun dalam sepekan. Ia lahir dari kesadaran kolektif, dari sikap reflektif, dan dari komitmen untuk terus memperbaiki diri.
Dan kalau boleh sedikit nakal:
Daripada sibuk bikin dokumen yang “hidup”, kenapa tidak hidupkan saja cara kerja kita sesuai dokumen?
SPMI bukan sekadar alat administratif. Ia adalah kompas. Dan tanpa kompas, jangan salah arah kalau kita tersesat di tengah lautan perubahan pendidikan tinggi.
Selamat Hari Pendidikan Nasional. Semoga kita benar-benar mendidik, bukan hanya mendokumentasikan pendidikan.
Oleh: Adnan Achiruddin Saleh
Dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Parepare










