SK PPPK dan Mokondo: Ketika Kemandirian Perempuan Mengubah Arah Pernikahan

Gambar: Ilustrasi AI
Gambar: Ilustrasi AI

Fenomena pengajuan cerai oleh para istri yang baru saja diangkat menjadi PPPK, seperti yang terjadi di Blitar dan Cianjur, kembali memunculkan diskusi menarik dalam ruang psikologi sosial. Ini bukan lagi sekadar persoalan keluarga atau “drama rumah tangga”, tapi potret perubahan sosial yang tengah berlangsung secara diam-diam namun signifikan.

Dalam banyak masyarakat Indonesia, khususnya yang masih memegang nilai-nilai patriarkal, relasi suami-istri sering dibingkai dalam struktur peran konvensional: laki-laki sebagai pencari nafkah, perempuan sebagai pengurus rumah tangga. Namun realitas sosial hari ini tak lagi sesederhana itu. Ketika perempuan memperoleh akses terhadap pekerjaan formal dan stabil seperti PPPK, relasi tersebut mulai berubah. Perubahan ini tidak hanya mengubah posisi perempuan dalam rumah tangga, tapi juga memengaruhi cara suami dan istri berinteraksi dan membagi tanggung jawab.

Ketika perempuan mendapatkan kemandirian ekonomi, banyak dari mereka yang mulai memiliki ruang untuk merefleksikan kembali kondisi rumah tangga yang selama ini dijalani. Situasi-situasi yang sebelumnya ditoleransi karena ketergantungan ekonomi kini dilihat secara lebih kritis. Jika hubungan sudah lama tidak sehat, tidak saling mendukung, atau bahkan bersifat abusif secara emosional, perempuan kini memiliki pilihan nyata untuk keluar dari hubungan tersebut.

Pergeseran ini, sebagaimana disampaikan oleh Nur Afiah, Kepala Pusat Studi Gender dan Anak IAIN Parepare, menggambarkan fenomena sosial baru yang menarik. Ia mengatakan, “Zaman sekarang sering kita temukan keluarga, perempuan yang diminta mencari nafkah sedang laki-laki menjadi tukang ‘ojeknya’, antar kerja.” Pernyataan ini tidak hanya menggambarkan perubahan peran gender dalam praktik sehari-hari, tetapi juga bagaimana struktur rumah tangga mengalami pembalikan peran yang cukup drastis.

Fenomena ini berkaitan erat dengan istilah “mokondo”, yang dalam konteks Bugis-Makassar merujuk pada laki-laki yang tidak bekerja secara tetap, dan bergantung pada istri secara ekonomi. Dalam budaya lokal, istilah ini mengandung konotasi negatif dan sering digunakan untuk mengkritik laki-laki yang dianggap tidak menjalankan perannya sebagai kepala rumah tangga. Dalam konteks yang lebih luas, “mokondo” menunjukkan adanya konflik antara nilai tradisional dan realitas sosial ekonomi kontemporer.

Ketika suami tidak lagi menjadi pencari nafkah utama, tetapi juga tidak berperan secara aktif dalam urusan domestik atau emosional, perempuan bisa merasa kehilangan rasa hormat dan dukungan yang seharusnya menjadi inti pernikahan. Di titik ini, pernikahan berubah dari ruang tumbuh bersama menjadi beban psikologis yang memberatkan satu pihak saja—dan perempuan mulai mengambil tindakan.

Dari kacamata psikologi sosial, hal ini bukan semata-mata soal kekuatan perempuan yang meningkat, tapi juga soal struktur hubungan yang gagal beradaptasi dengan perubahan sosial. Ketika pasangan tidak memiliki kemampuan untuk menegosiasikan ulang peran dan ekspektasi dalam relasi yang sehat dan setara, konflik menjadi tak terhindarkan.

Fenomena perceraian guru PPPK ini bisa dipahami sebagai respons terhadap struktur pernikahan yang tidak adaptif. Dan bukan berarti perempuan menjadi lebih egois atau “terlalu bebas”, melainkan justru menunjukkan bahwa perempuan kini punya kesadaran lebih tinggi akan harga diri, keadilan relasi, dan hak untuk hidup dalam lingkungan yang sehat—baik secara ekonomi maupun emosional.

Kasus-kasus ini memberi pesan penting: relasi rumah tangga harus dibangun bukan hanya atas dasar tradisi, tapi juga kesadaran bersama tentang peran, tanggung jawab, dan saling menghargai. Ketika perempuan terus bergerak maju, laki-laki pun perlu mengubah cara mereka memahami maskulinitas, kontribusi, dan cinta dalam keluarga. Jika tidak, maka jarak antara kenyataan dan harapan akan terus melebar—dan perceraian bisa menjadi titik akhir dari ketimpangan yang tak kunjung selesai.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *