Presiden Prabowo Subianto resmi melantik Guru Besar Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung (ITB), Brian Yuliarto, sebagai Menteri Pendidikan Tinggi Sains Teknologi (Mendiktisaintek) di Istana Negara pada Rabu, 19 Februari 2025. Brian menggantikan Satryo Soemantri Brodjonegoro, yang sebelumnya menjabat sejak 21 Oktober 2024.
Pergantian ini terjadi di tengah kontroversi yang menyelimuti Satryo. Pada pertengahan Januari lalu, ia menjadi sasaran demonstrasi ratusan pegawainya akibat pemberhentian mendadak seorang pegawai secara lisan. Selain itu, pernyataannya yang menyebut beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan beasiswa lainnya akan terdampak efisiensi anggaran Prabowo Subianto juga menuai polemik. Menteri Keuangan Sri Mulyani kemudian membantah klaim tersebut.
Di luar kontroversi tersebut, Satryo sempat mengeluarkan kebijakan yang menarik perhatian para pengelola perguruan tinggi. Ia menerbitkan surat edaran Nomor 15 Tahun 2025 terkait evaluasi Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Revisi ini bertujuan untuk merevitalisasi otonomi perguruan tinggi sebagaimana diatur dalam Pasal 62 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Target penyelesaian revisi ini ditetapkan sebelum 18 Agustus 2025.
Permendikbud Ristek Nomor 53 Tahun 2023, yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan sebelumnya, Nadiem Makarim, memiliki peran strategis dalam menetapkan Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti). Standar ini menjadi acuan dalam pengelolaan seluruh perguruan tinggi di Indonesia, baik akademik, vokasi, maupun profesi pada Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta. Oleh perguruan tinggi, SN Dikt ini yang akan diterjemahkan ke dalam standar mutu yang ditetapkan oleh setiap perguruan tinggi agar mencerminkan usaha pemenuhan dan pelampauan kinerja sistem penjaminan mutu internal. SN Dikti juga digunakan sebagai dasar penyusunan instrumen akreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) dan Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM).
Dua aspek utama dalam regulasi ini yang sering diperbincangkan adalah konsep Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) dan Sistem Akreditasi Nasional (SAN). MBKM merupakan kewajiban bagi perguruan tinggi memfasilitasi mahasiswa dalam pembelajaran di luar program studi dan magang di instansi luar kampus. Sementara itu, perubahan dalam SAN mengharuskan BAN-PT dan LAM menyesuaikan instrumen akreditasi baru menggunakan pendekatan CRAM (Culture/Budaya Mutu, Relevance/Relevansi Tridharma, Accountability/Akuntabilitas, Mission/diferensiasi misi). Selain itu, perubahan status akreditasi perguruan tinggi kini hanya mencakup “terakreditasi”, “tidak terakreditasi”, dan “terakreditasi sementara” untuk perguruan tinggi baru. Sementara itu, akreditasi program studi mencakup status “unggul”, “terakreditasi”, “tidak terakreditasi”, “terakreditasi sementara” untuk program studi baru, serta “internasional”. Perubahan dari sebelumnya yang mengenal “unggul”, “Baik Sekali”, dan “Baik” Metode akreditasi baru juga diperkenalkan melalui sistem automasi, di mana akreditasi ulang dilakukan tanpa asesmen langsung dari asesor melainkan melalui pemantauan data pada PD Dikti.
Namun, implementasi instrumen akreditasi ini kini menemui kendala akibat surat edaran Satryo yang meminta revisi terhadap Permendikbud Ristek Nomor 53 Tahun 2023. Revisi ini berpotensi menghambat target penyelesaian penyesuaian instrumen akreditasi oleh BAN-PT dan LAM pada 16 Agustus 2025.
Kini, perhatian tertuju pada kebijakan yang akan diambil oleh Menteri Brian Yuliarto. Apakah ia akan melanjutkan revisi yang diusulkan oleh Satryo atau menarik kembali surat edaran tersebut agar BAN-PT dan LAM segera menyelesaikan, mensosialisasikan, dan menerapkan instrumen akreditasi baru dan bagi Perguruan tinggi menetapkan standar pendidikan tinggi? Keputusan Brian akan menjadi penentu arah kebijakan pendidikan tinggi di masa mendatang.
Ditulis oleh Adnan Achiruddin Saleh












