Coba bayangkan: kamu bangun tidur, buru-buru ke kamar mandi, dan… ternyata nggak ada akses sanitasi. Nah, sekarang bayangkan hal yang sama, tapi kamu adalah penyandang disabilitas atau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Bisa dibayangkan repotnya? Nah, di sinilah kisah ini dimulai.
Di Kabupaten Sidenreng Rappang, ada program dengan nama yang nyentrik tapi maknanya dalam: PESAN TOBAT DARI SURGA. Bukan, ini bukan program ceramah keagamaan atau pengajian kilat. Tapi ini adalah singkatan dari Peduli Sanitasi Total Berbasis Masyarakat Bagi Penyandang Disabilitas dan ODGJ.
Program ini bukan cuma soal jamban dan sabun. Ini tentang martabat. Tentang bagaimana negara, lewat Puskesmas Lancirang dan inovatornya yang visioner, Ahmad Muammar Rizal Ananta Nur, SKM, hadir di titik paling sunyi dari pelayanan kesehatan: sanitasi untuk yang selama ini tak terdengar suaranya.
Masalahnya Sepele? Coba Tanya Diare dan DBD
Menurut WHO, 15% populasi dunia adalah penyandang disabilitas. Di Indonesia, BPS mencatat sekitar 22,5 juta jiwa. Tapi sayangnya, fasilitas sanitasi yang layak buat mereka? Kadang dianggap bonus, bukan kebutuhan. Jadilah mereka sering terpaksa BABS (Buang Air Besar Sembarangan) atau menggunakan air tak layak konsumsi. Ya ampun, abad 21 tapi masih kayak gini?
Program PESAN TOBAT datang sebagai jawaban. Dengan pendekatan yang manusiawi, inklusif, dan sederhana, program ini menyulap toilet jadi alat pemberdayaan. Inilah inovasi non-digital yang justru sangat “menyentuh” sisi kemanusiaan.
Sanitasi: Bukan Cuma Urusan Pipa dan Air Bersih
Program ini mengintegrasikan lima pilar STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat) dan menargetkan penyandang disabilitas sebagai prioritas. Hasilnya?
-
Meningkatnya akses toilet keluarga untuk disabilitas.
-
Penyandang disabilitas bisa cuci tangan pakai sabun tanpa drama.
-
Pengelolaan sampah dan limbah rumah tangga jadi lebih aman.
-
Dan yang bikin bangga: keluarga mereka ikut berkomitmen secara tertulis. Serius, sampai ditandatangani segala.
Bahkan ada QR Code di rumah para penerima manfaat. Jadi bukan cuma rumah mewah yang pakai teknologi, rumah penerima program ini pun bisa tampil tech-savvy. Bayangkan, ada orang tua dengan anak disabilitas bisa bilang, “Coba scan, ini rumah saya, dan kami sudah komit sanitasi.”
SDGs Nggak Cuma Pajangan di Slide Presentasi
Program ini langsung nyambung dengan SDGs tujuan ke-6: Menjamin Ketersediaan serta Pengelolaan Air Bersih dan Sanitasi Berkelanjutan untuk Semua. Yup, untuk semua, termasuk yang sering terlupakan: penyandang disabilitas dan ODGJ.
Inovasi ini juga relevan dengan Asta Cita dan prioritas nasional: memperkuat peran perempuan, pemuda, dan penyandang disabilitas. Jadi jangan salah, PESAN TOBAT bukan cuma program lokal. Ini benih revolusi kecil di desa, dengan dampak yang bisa menjalar nasional.
Bukan Inovasi Mahal, Tapi Sangat Bernilai
Tanpa perlu aplikasi canggih atau budget ratusan juta, inovasi ini mengandalkan pendekatan langsung: kunjungan rumah, sosialisasi alat bantu, hingga edukasi berbasis komunitas. Pendekatan low-cost-high-impact. Dan ya, ini inovasi non-digital yang sangat digital dalam dampaknya.
Kalau kamu masih berpikir perubahan harus datang lewat teknologi rumit, coba tengok PESAN TOBAT DARI SURGA. Kadang, perubahan besar datang dari hal-hal “kecil”—seperti membuat penyandang disabilitas punya toilet sendiri yang layak.
Penutup: Jamban, Kepedulian, dan Sepotong Surga di Sidenreng Rappang
Kita sering ribut soal data makro, pembangunan, dan transformasi digital. Tapi apakah kita pernah tanya: apakah semua warga, termasuk disabilitas, sudah bisa buang air besar dengan aman dan bermartabat?
Ahmad Muammar Rizal dan timnya di Puskesmas Lancirang menjawab pertanyaan itu dengan kerja nyata, bukan seminar. Dengan PESAN TOBAT DARI SURGA, mereka menunjukkan bahwa reformasi itu bisa dimulai… dari jamban.












