Parepare, 4 Juni 2025 – Laboratorium SDGs IAIN Parepare, Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam (PMI), Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah, sukses menyelenggarakan Bengkel 2030 Seri 1 bertema “Ekoteologi dan SDGs (Jejak Sampah Kita)” pada Rabu sore, 4 Juni 2025. Acara dihelat di Panggung Lapangan LPM IAIN Parepare mulai pukul 16.00 hingga 18.00 WITA dan dihadiri oleh puluhan mahasiswa dan dosen yang antusias mendiskusikan isu kerusakan lingkungan.
Sebagai pemantik diskusi, Adnan A. Saleh, yang juga merupakan ketua laboratorium SDGs, mengupas tuntas hubungan manusia dengan alam dari perspektif ekoteologi. Dalam paparannya, Adnan menegaskan bahwa terdapat enam pilar hubungan yang harus dipahami:
- Hubbullah (cinta dan keyakinan kepada Allah),
- Hubbul Rasul (cinta kepada rasul sebagai teladan),
- Hubbun Nafs (perawatan diri),
- Hubbun Nās (silaturahmi sesama manusia),
- Hubbul Waṭan wal Bilād (cinta tanah air),
- Hubbul Bi’ah (cinta kepada lingkungan).
Menurut Adnan, kelima pilar pertama saling menopang, tetapi tanpa hubbul bi’ah—rasa tanggung jawab ekologis—suatu peradaban rentan mengalami disrupsi: “Manusia yang merusak lingkungannya pada akhirnya akan merugikan diri sendiri, masyarakat, dan bahkan negara. Ekoteologi mengajarkan bahwa manusia dan alam sejajar; tidak satu pun boleh mendominasi atau mengabaikan yang lain,” tegasnya.
Dalam sesi diskusi, Adnan memaparkan pula gagasan Seyyed Hossein Nasr mengenai Surah Aṭ-Ṭīn (95:1–4). Ia menjelaskan bahwa Allah bersumpah dengan buah tin, buah zaitun, dan Bukit Sinai (Sīnīn) sebagai simbol keseimbangan kosmik:
Buah tin (Ficus carica) mewakili kesuburan dan kemakmuran agraris (terutama di wilayah Palestina),
Buah zaitun (Olea europaea) melambangkan ketahanan hidup dan kesehatan fisik-spiritual,
Bukit Sinai (Gunung Musa) sebagai tempat turunnya wahyu Taurat, melambangkan kepatuhan dan keheningan spiritual.
Menurut Adnan, ketiganya mengajarkan bahwa alam semesta ini berfungsi selaras—pohon ara dan zaitun tumbuh subur di tanah tandus, sementara Musa berinteraksi dengan Allah dalam kesunyian pegunungan. “Ketika manusia merusak salah satu elemen alam—misalnya membabat pohon zaitun atau membiarkan sampah menumpuk—kita memutus ‘tasbih’ alam semesta yang bertasbih kepada Allah dengan caranya masing-masing (QS. Al-Isrā’ 17:44),” imbuhnya.
Lebih jauh, Adnan mengutip QS. Fāṭir 35:43 (“فَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّتِي تَبْدِيلًا”) untuk menekankan bahwa sunna Allah (ketetapan Ilahi) tidak akan berubah. “Setiap umat yang menzhalimi lingkungan—dengan polusi, penebangan liar, atau kelalaian ekologis—akan menanggung akibatnya sebagaimana umat terdahulu. Dia tidak mengubah sunna-Nya hanya karena manusia merasa ‘zaman sudah maju’,” jelas Adnan.
Di akhir sesi, ia mengaitkan pembahasan dengan Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya:
- Target 12.5 (mengurangi sampah hingga seminimal mungkin),
- Target 14.1 (mengurangi polusi laut, terutama plastik di laut),
- Target 15.3 (memerangi desertifikasi dan memulihkan lahan terdegradasi).
“Ketiga target ini sejatinya penerjemahan langsung sunna Ilahi dalam konteks modern: hemat sumber daya, jaga kebersihan laut, dan pulihkan lahan agar bumi tetap bertasbih,” ujar Adnan sebelum menutup pemaparannya.
Dalam sambutannya, Afidatul Asmar, M. Sos., selaku Ketua Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam, menyambut antusias gelaran Bengkel 2030 Seri 1. Ia menegaskan:
“Laboratorium SDGs IAIN Parepare berkomitmen mendorong kesadaran ekologi yang berpijak pada pilar kemanusiaan Islam. Dalam konteks keislaman, merawat alam bukan semata-mata kewajiban moral, tetapi juga ibadah. Dengan memahami hubbul bi’ah setara dengan hubbullah dan hubbul rasul, mahasiswa kami diharapkan menjadi agen perubahan yang mampu mengadvokasi kelestarian lingkungan secara ilmiah, religius, dan sosial. Bengkel hari ini adalah langkah awal untuk merancang program jangka panjang, mulai dari gerakan sadar sampah di kampus hingga advokasi kebijakan lingkungan bagi pemerintah daerah.”
Afidatul Asmar juga menyampaikan harapannya agar hasil diskusi pada Bengkel 2030 dapat dikembangkan menjadi proyek kolaboratif antara mahasiswa, dosen, dan lembaga publik di Parepare—khususnya dalam menurunkan volume sampah rumah tangga dan sampah pasar yang selama ini menjadi tantangan utama di kota tersebut.












