PAREPARE — Di Auditorium IAIN Parepare, Jumat, 25 Juli 2025, suasana terasa berbeda. Bukan karena megahnya ruangan atau padatnya kursi yang terisi, tetapi karena satu tema yang jarang disinggung dalam forum akademik: Cinta. Ya, Menteri Agama RI, Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A., membuka ruang kontemplasi melalui kuliah umum berjudul “Implementasi Kurikulum Berbasis Cinta dalam Pendidikan Tinggi: Integrasi antara Ilmu dan Kearifan Lokal.”
Dalam logika pendidikan modern, kurikulum adalah kompas, arah yang menentukan ke mana generasi muda akan dibawa. Mau membentuk manusia yang berorientasi pada masa depan? Bisa. Mau menghasilkan manusia yang hidupnya hanya sibuk mengejar kedudukan dan materi? Bisa juga. Karena kurikulum, sejatinya, adalah pemesan wujud manusia di masa depan.
Namun Prof. Nasaruddin mengingatkan, kita perlu menjadi manusia “modern” yang menghargai waktu, berniat baik untuk masa depan, dan menjunjung nilai. Bukan versi kebablasan—yang justru merusak nilai-nilai hidup demi modernitas semu. Untuk mengatasi krisis ini, Kementerian Agama membawa dua konsep dasar: Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) dan Ekoteologi.
Cinta yang Menjadi Fondasi Ilmu
Cinta, kata beliau, adalah inti dari seluruh agama. Dalam Islam, ada 6.236 ayat dalam Al-Qur’an. Namun bila dipadatkan, semuanya bermuara pada satu kata: rahmah—cinta kasih. Kata ini muncul dalam “Bismillahirrahmanirrahim,” yang bahkan menjadi pembuka setiap bacaan suci.
Inilah yang menjadi semangat dari Kurikulum Cinta: kembali pada jati diri, bukan sekadar mengejar gelar. Beliau mengajak mahasiswa dan pendidik untuk menyeimbangkan antara konsentrasi dan kontemplasi. Konsentrasi membuat manusia sibuk mengejar jabatan, rumah, atau pengaruh. Tapi kontemplasi membuat manusia sadar bahwa dirinya bagian dari semesta yang agung. Tanpa kontemplasi, ilmu bisa menjadikan manusia liar—pintar tapi tidak bijak, kritis tapi tidak berperasaan.
Tasbih Semesta dan Alam yang Berteman
Cinta tidak hanya ditujukan kepada sesama manusia, tetapi juga pada alam semesta. Prof. Nasaruddin mengajak kita berpikir ulang: jika semesta bisa bertasbih, itu artinya ia juga merasakan. Semesta bisa marah, semesta bisa tersenyum. Getaran-getaran alam adalah energi cinta yang berzikir kepada Sang Pencipta. Maka sikap terhadap alam harus berubah. Tidak bisa lagi kita memandang alam sebagai objek yang harus ditaklukkan. Alam bukan musuh, bukan benda mati.
Ekoteologi—gagasan bahwa Tuhan memanifestasikan diri dalam alam—mengajak kita mensakralkan ulang bumi ini. Dalam logika spiritual, langit adalah suami dan bumi adalah istri. Hujan adalah sperma langit, dan tumbuhan yang tumbuh dari bumi adalah anak-anaknya. Hubungan ini sakral, penuh cinta, dan tidak bisa dirusak sembarangan.
Kurikulum Cinta: Memanusiakan Manusia
Kurikulum cinta bukanlah soal ajaran lemah hati atau sentimentalitas semata. Ini adalah ajakan serius untuk membentuk manusia yang bukan hanya cerdas, tapi juga bijak. Bukan hanya terampil, tapi juga peduli. Cinta menjadikan ilmu sebagai jalan untuk memahami Tuhan, sesama, dan alam—bukan untuk menguasainya.
Di akhir kuliahnya, Prof. Nasaruddin menyentuh kalimat yang menjadi intisari semua ini: Tat Twam Asi—”Engkau adalah aku, aku adalah engkau.” Kita tidak hanya diajarkan untuk mencintai mereka yang seagama, sebangsa, atau sewarna. Kita diajak untuk mencintai semesta dalam seluruh keanekaragamannya.
Karena pada akhirnya, ilmu yang tidak dibarengi cinta hanya akan menjadi alat kuasa. Tapi ilmu yang dipandu oleh cinta, itulah yang akan menyelamatkan dunia.












