Ketika kabar tentang puluhan guru berstatus PPPK di Cianjur dan Blitar yang mengajukan cerai usai menerima SK pengangkatan menyebar luas, publik seolah digugah oleh pertanyaan: apa yang sebenarnya terjadi di balik fenomena ini? Tidak sedikit yang menilai ini sebagai “dampak naik gaji” atau “perempuan lupa diri”, namun jika kita menelisik lebih dalam melalui kacamata psikologi sosial, realitas ini jauh lebih kompleks dari sekadar stereotip tersebut.
Bagi banyak perempuan, status sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja bukan hanya berarti penghasilan tetap dan jaminan kerja. Lebih dari itu, ini adalah simbol kemandirian, pengakuan sosial, dan—yang paling penting—rasa aman. Dalam banyak kasus, rasa aman ini menjadi titik balik. Jika sebelumnya mereka berada dalam relasi pernikahan yang dingin, penuh tekanan emosional, atau bahkan kekerasan psikis, kini mereka memiliki kekuatan untuk memilih: bertahan atau keluar.
Seperti yang diungkapkan oleh Emilia Mustary, M.Psi., Ketua Program Studi Bimbingan Konseling Islam IAIN Parepare, “Si istri sudah merasa secure dari sisi ekonomi sehingga berani keluar dari hubungan negatif dalam pernikahan. Tapi ada yang perlu diperhatikan bagaimana kesiapan menikahnya di awal lanjut ke penyesuaiannya. Tapi paling dasar, bagaimana mereka memahami tentang peran istri dalam pernikahan, khususnya dalam pandangan Islam.”
Pernyataan ini membuka lapisan penting dari diskusi: bukan hanya soal keberanian mengambil keputusan, tetapi juga tentang kualitas kesiapan saat memasuki pernikahan itu sendiri. Banyak perempuan muda menikah dalam kondisi belum utuh memahami apa sebenarnya makna pernikahan, tanggung jawab emosionalnya, dan bagaimana dinamika peran dalam rumah tangga berjalan dalam nilai-nilai Islam yang penuh keseimbangan.
Perubahan status sosial dan ekonomi perempuan, terutama dalam masyarakat yang masih kuat menganut nilai patriarkal, sering kali memicu gesekan baru dalam relasi suami-istri. Ketika perempuan mulai berdiri sejajar atau bahkan lebih mapan dari pasangannya, struktur lama dalam rumah tangga bisa goyah, terutama jika tidak ada komunikasi terbuka atau adaptasi peran yang sehat. Bagi sebagian laki-laki, ini bisa mengancam identitas atau harga diri sebagai kepala keluarga. Di sinilah krisis sering muncul—bukan karena istri berubah, tetapi karena struktur relasi yang sebelumnya timpang tidak mampu bertransformasi mengikuti perkembangan zaman.
Namun di sisi lain, ini juga menjadi cermin dari kebangkitan kesadaran diri perempuan. Dulu, banyak perempuan bertahan dalam pernikahan bukan karena cinta atau harmoni, melainkan karena ketergantungan ekonomi, tekanan sosial, atau rasa takut akan stigma cerai. Kini, dengan penguatan kapasitas dan dukungan struktural seperti status PPPK, perempuan memiliki ruang untuk mengevaluasi relasi rumah tangganya secara lebih kritis.
Tentu, fenomena ini tidak bisa serta-merta dipandang sebagai bentuk pemberontakan terhadap nilai-nilai keluarga. Justru ini menunjukkan bahwa keluarga yang sehat harus dibangun di atas pondasi keadilan, kesalingan, dan penghormatan peran masing-masing. Islam pun tidak pernah meletakkan perempuan dalam posisi inferior dalam pernikahan. Sebaliknya, ada prinsip musyawarah, kasih sayang, dan keseimbangan hak serta kewajiban antara suami dan istri.
Apa yang terjadi di Cianjur dan Blitar bukanlah masalah hukum semata, melainkan juga sinyal sosial yang harus dibaca oleh para pemangku kebijakan, pendidik, hingga tokoh agama. Pendidikan pranikah yang berbobot, dialog tentang peran dalam keluarga, serta dukungan terhadap perempuan yang ingin hidup sehat secara mental dan emosional perlu terus diperkuat. Karena pada akhirnya, pernikahan bukanlah sekadar soal bertahan, melainkan tentang tumbuh bersama dalam rasa hormat dan saling mendukung.












