BONE – Kebebasan pers diduga kembali mendapat ancaman. Dua wartawan di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, mengaku mendapat intimidasi dari aparat saat meliput demonstrasi penolakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2), pada Selasa (19/8/2025) malam.
Pemimpin Redaksi Ujungpenamedia.com, Adry, mengisahkan dirinya dipaksa menghentikan siaran langsung di sekitar Kantor Bupati Bone. Saat itu ia tengah menayangkan situasi massa yang dipukul mundur aparat menggunakan gas air mata.
“Karena sesak, saya masuk ke gedung kantor bupati untuk cuci muka. Begitu turun di tangga utama, sejumlah petugas TNI melihat HP saya masih on. Saya langsung dibentak, ‘Matikan, tidak ada media di sini!’ Bahkan HP saya hampir disita dan rekaman video diminta dihapus,” ungkapnya, Kamis (21/8/2025).
Adri mencoba melanjutkan siaran di luar gedung. Namun larangan tetap datang.
“Begitu saya live lagi di depan kantor bupati, ada oknum TNI mendatangi dan mengancam, jangan live di sini, jangan sampai saya seret masuk,” ujarnya.
Pengalaman serupa dialami Jumardi Ricky, wartawan Lensasatu.com dan DNID.co.id. Ia hampir diserang saat hendak merekam aparat mengamankan massa.
“Saya sudah bilang saya dari media, tapi tetap ditarik. Untung ada anggota Resmob dan Kepala BIN yang menahan. Alasannya karena ada odol di wajah saya, padahal itu untuk mengurangi efek gas air mata,” jelas Ricky.
Motor pribadinya pun ikut rusak dalam insiden itu.
Kedua wartawan tersebut merupakan anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Bone.
Peristiwa ini menambah catatan kelam kebebasan pers di daerah. Padahal, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers secara tegas menjamin kemerdekaan pers dan melindungi kerja jurnalis di lapangan.
Menanggapi hal tersebut, Ketua PWI Bone, Suparman, mengecam keras tindakan intimidasi aparat terhadap wartawan.
“Wartawan bukan musuh. Mereka hadir untuk menyampaikan informasi yang benar kepada masyarakat. Kami mendesak institusi terkait segera melakukan evaluasi dan menindak tegas oknum aparat yang terbukti melakukan intimidasi,” tegasnya.
Sementara itu, ahli pers sekaligus penguji UKW Dewan Pers, M. Faturrahman, menilai aparat seharusnya melindungi, bukan menghalangi kerja wartawan.
“Kalau ada hal-hal yang dianggap sensitif, semestinya bisa dikomunikasikan. Bukan dengan bentakan atau kekerasan,” ujarnya.
Ia menambahkan, jika intimidasi sampai menimbulkan kerugian atau luka, wartawan berhak melapor ke Dewan Pers maupun institusi terkait agar kejadian serupa tidak terulang.
Faturrahman juga mengingatkan pentingnya protokol keselamatan liputan di situasi rawan.
“Demonstrasi yang memanas, dapat disamakan dengan kondisi konflik sehingga jurnalis harus bekerja cepat, waspada, dan menunjukkan identitas pers yang jelas agar tidak disalahpahami,” katanya.
Hingga berita ini diturunkan, aparat yang dimaksud belum memberikan keterangan resmi.












