Akbar Hamdan: “Menggunakan Chatbot AI Itu Seperti Membesarkan Harimau”

Akbar Hamdan
Akbar Hamdan

Parepare, 12 Juli 2025 — Di hadapan puluhan peserta Pelatihan Jurnalistik dan OKK PWI Sulsel di Media Café Parepos, Akbar Hamdan, Direktur Pare Pos. Dengan lugas namun reflektif, ia membawakan materi bertajuk “Penggunaan Chatbot AI: Antara Efisiensi dan Etika Jurnalisme”.

Di tengah arus digitalisasi media yang semakin deras, Akbar hadir sebagai pengingat: kemajuan teknologi tak bisa ditolak, tapi tetap harus diwaspadai. “Menggunakan Chatbot AI itu seperti membesarkan harimau,” ujarnya membuka sesi. “Ia bisa membantu banyak hal, tapi kalau tidak dikendalikan, bisa memangsa siapa saja, termasuk jurnalisnya sendiri.”

AI dalam Jurnalisme: Efisien, Tapi Mengandung Risiko

Chatbot AI saat ini telah digunakan oleh banyak media untuk mempercepat produksi berita, menulis ringkasan, bahkan mengelola konten SEO. Akbar Hamdan tidak menampik manfaat besar dari teknologi ini, terutama dari sisi efisiensi.

Namun, ia menekankan bahwa efisiensi bukan satu-satunya ukuran dalam jurnalistik. Ada hal yang jauh lebih krusial: kebenaran, keadilan, dan akuntabilitas kepada publik.

“AI bisa sangat cepat menulis, tapi ia tidak tahu apa yang benar. Ia bisa berhalusinasi. Dan kalau kita tidak hati-hati, berita yang dihasilkan bisa merusak kredibilitas media itu sendiri,” tegasnya.

Empat Tantangan Etika Chatbot AI dalam Dunia Pers

Akbar memetakan empat tantangan besar dalam penggunaan chatbot AI bagi jurnalis dan redaksi:

  1. Kebenaran Fakta
    Chatbot AI kerap menghasilkan informasi yang terdengar meyakinkan, namun belum tentu akurat. Ini disebut fenomena AI hallucination — ketika sistem menciptakan “fakta” yang sebenarnya tidak ada.

  2. Bias Algoritma
    Banyak AI dibangun di atas data yang mengandung bias. “Kita tidak sadar, tapi bisa jadi kita sedang menyebarkan diskriminasi secara sistematis, mulai dari SARA, gender, hingga bias politik,” jelas Akbar.

  3. Ketergantungan Berlebihan
    Ia mengingatkan bahwa banyak jurnalis muda mulai kehilangan sensitivitas karena terlalu bergantung pada mesin. “Saat mesin menulis, kita diam. Kita jadi jurnalis pasif, bukan jurnalis kritis,” ucapnya.

  4. Krisis Transparansi
    Dalam era konten instan, publik sulit membedakan mana karya jurnalistik asli dan mana yang dihasilkan mesin. Hal ini memicu krisis kepercayaan. “Kalau publik tidak bisa percaya, apa artinya menjadi media?” tantangnya.

AI Harus Jadi Alat Bantu, Bukan Pengganti Wartawan

Di akhir pemaparannya, Akbar mengajak para peserta untuk tidak alergi terhadap AI, tapi juga tidak menyerahkan integritas profesi ke tangan algoritma.

“Gunakan AI sebagai alat bantu. Tapi tetap ada proses manual: verifikasi fakta, penyuntingan, dan yang paling penting, kejujuran kepada pembaca bahwa ini adalah karya jurnalis, bukan mesin,” tuturnya.

Ia menyarankan agar redaksi ke depan mulai membangun sinergi antara kecerdasan buatan, jurnalis profesional, dan editor manusia. Kombinasi ini, menurutnya, adalah fondasi masa depan jurnalistik yang sehat dan beretika.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *