Opini  

Mutu atau Borang: Siapa yang Sebenarnya Kita Layani?

Hari ini, 1 Mei, kita memperingati Hari Buruh Internasional—hari di mana suara para pekerja bergema melampaui tembok pabrik, layar laptop, bahkan ruang-ruang rapat kampus. Biasanya, Hari Buruh lebih lekat dengan tuntutan upah layak, jaminan kerja, dan keadilan sosial. Tapi tahukah Anda, bahwa di dunia akademik, kita juga punya “pekerja” yang diam-diam memikul beban berat tanpa banyak suara?

Mereka bukan buruh dalam artian klasik, tetapi setiap hari berkutat dengan dokumen, revisi SOP, rapat mutu, dan audit internal. Ya, mereka adalah para pejuang mutu di balik SPMI—yang oleh sebagian sivitas masih dianggap “urusan administrasi”, bukan bagian dari perjuangan akademik.

Jika Karl Marx dulu membagi masyarakat menjadi kaum borjuis (pemilik alat produksi) dan proletar (pekerja yang menjual tenaganya), maka di kampus-kampus, kita bisa dengan bercanda (tapi serius) menyebut bahwa “alat produksi” kita adalah dokumen mutu, sedangkan kelas pekerjanya adalah para tenaga yang menghabiskan malam dengan dokumen akreditasi dan semua yang menjalankan semua prosedur PPEPP dengan tekun. Ironisnya, meski bekerja keras memastikan mutu, mereka kerap terjebak pada simbol, bukan substansi. Mutu dirayakan, tapi belum tentu dirasakan.

Di tengah itu semua, Menteri Pendidikan di era Jokowi, datanglah pernyataan jujur dari Nadiem Makarim:

“Peringkat akreditasi belum tentu mencerminkan mutu pendidikan tinggi.”

Kalimat itu seperti lembar revisi yang menohok. Di satu sisi, kita mati-matian menyusun SPMI agar akreditasi naik kelas. Di sisi lain, kualitas pembelajaran, riset, dan layanan masih berjalan dalam rel yang tidak selalu paralel. Mutu, kadang-kadang, hanya menjadi jargon dalam power point, bukan denyut dalam kehidupan kampus.

Regulasi sudah sangat jelas:

  • UU No. 12 Tahun 2012 mewajibkan perguruan tinggi mengembangkan SPMI.

  • Permendikbudristek No. 53/2023 menegaskan bahwa standar pendidikan tinggi adalah penjabaran SN Dikti yang ditetapkan secara otonom.

  • Peraturan BAN-PT No. 13 dan 27 bahkan menjadikan perangkat SPMI sebagai syarat sah memperoleh status terakreditasi.

Namun kita tahu, di balik kelengkapan dokumen, tak jarang masih ada wajah-wajah letih dari para “buruh mutu” kampus—mereka yang harus menyiapkan laporan tengah malam, mengumpulkan bukti fisik, dan menjawab audit dengan hati-hati agar tidak “mencederai” nilai borang.

Maka pada Hari Buruh ini, mari kita refleksikan satu hal:
Apakah kita sedang membangun budaya mutu, atau sekadar menjadi buruh bagi dokumen mutu?
Apakah SPMI menjadi dokumen yang hidup, atau kita yang hidup dalam dokumen?

Jika mutu hanya hidup di atas kertas, maka kita gagal melampaui logika borjuis: yang penting tampilan, bukan keberlanjutan. Tapi jika SPMI sungguh-sungguh menjadi sistem yang bergerak bersama denyut akademik, maka para “proletar mutu” kampus akan menjadi garda depan perubahan.

Selamat Hari Buruh 2025.
Untuk para pekerja intelektual dan dokumenter kampus—tetaplah hidup, jangan sekadar terdokumentasi.

Oleh Adnan Achiruddin Saleh

Dosen di IAIN Parepare

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *